puzzleindonesia.com – Gunung Everest, dengan ketinggian mencapai 8.848,86 meter, adalah gunung tertinggi di dunia. Terletak di perbatasan antara Nepal dan Tibet, China, gunung ini pertama kali diidentifikasi sebagai puncak tertinggi di dunia oleh survei Britania pada tahun 1856 dan dinamai menurut Surveyor General of India, Sir George Everest.

Gunung ini terkenal karena menjadi tujuan para pendaki dari seluruh dunia, dengan pendakian pertama yang berhasil dilakukan oleh Sir Edmund Hillary dari Selandia Baru dan Tenzing Norgay, seorang sherpa Nepal, pada 29 Mei 1953.

Namun, pendakian ke Everest bukanlah tugas yang mudah. Para pendaki harus menghadapi tantangan seperti cuaca ekstrem, udara tipis yang bisa menyebabkan hipoksia, dan risiko fisik seperti longsoran salju dan crevasse. Meski demikian, banyak pendaki yang terus berusaha mencapai puncak gunung ini, meski dampak lingkungan dan budaya dari pendakian ini menjadi subjek perdebatan dan kekhawatiran.

Selain itu, Gunung Everest juga menjadi lokasi penelitian ilmiah yang penting, dengan studi yang mencakup segala hal dari perubahan iklim hingga efek ketinggian pada fisiologi manusia. Secara keseluruhan, Gunung Everest bukan hanya titik tertinggi di Bumi, tetapi juga simbol tantangan, penemuan, dan rasa hormat terhadap alam.

Sejarah dan Penemuan Gunung Everest

Gunung Everest ditemukan sebagai puncak tertinggi di dunia oleh survei trigonometri Britania Raya pada tahun 1856. Awalnya dikenal dengan nama “Peak XV”, gunung ini kemudian dinamai Sir George Everest, Surveyor General of India yang pensiun. Meski Everest sendiri tidak pernah mengunjungi gunung tersebut, namanya masih melekat hingga sekarang.

Pada tahun 1841, surveior Britania George Everest, yang saat itu menjabat sebagai Surveyor General of India, menginstruksikan salah satu asistennya, Radhanath Sikdar, untuk mengukur ketinggian berbagai puncak di Himalaya. Sikdar adalah orang pertama yang menyadari bahwa “Peak XV”, seperti yang disebut saat itu, adalah puncak tertinggi yang pernah diukur, dengan ketinggian lebih dari 29.000 kaki atau 8.839 meter.

Namun, pengumuman resmi tentang status “Peak XV” sebagai puncak tertinggi di dunia tidak dibuat hingga tahun 1856. Andrew Waugh, yang menggantikan George Everest sebagai Surveyor General of India, adalah orang yang mengumumkannya. Saat itu, Waugh memilih untuk menamai puncak tersebut setelah pendahulunya, meski Sir George Everest sendiri tidak pernah melihat gunung itu.

Pada tahun 1865, “Peak XV” secara resmi dinamai “Mount Everest”. Pada tahun 1955, ketinggian Everest ditetapkan sebesar 8.848 meter dan pada tahun 2020, ketinggian resmi Everest diperbarui menjadi 8.848,86 meter setelah survei bersama oleh Nepal dan China.

Sejak penemuan dan penamaannya, Gunung Everest telah menjadi tujuan para pendaki dari seluruh dunia, yang berusaha untuk mencapai puncaknya dan menghadapi tantangan ekstrem yang ditawarkannya. Dalam prosesnya, gunung ini telah menjadi simbol penemuan, petualangan, dan pencapaian manusia.

Penelitian Ilmiah di Gunung Everest

Gunung Everest, sebagai puncak tertinggi di dunia, menawarkan peluang unik untuk penelitian ilmiah. Beberapa bidang penelitian utama di Everest meliputi:

Klimatologi dan Perubahan Iklim

Peneliti mengumpulkan data tentang pola cuaca dan iklim di Everest, serta memantau perubahan dalam gletser dan salju di daerah tersebut. Studi ini membantu kita memahami bagaimana perubahan iklim mempengaruhi gunung dan ekosistemnya.

Geologi

Everest adalah bagian dari Pegunungan Himalaya, yang terbentuk akibat tabrakan antara lempeng tektonik India dan Eurasia. Peneliti mempelajari struktur dan komposisi batuan di Everest untuk memahami lebih lanjut tentang proses geologis yang membentuknya.

Biologi dan Ekologi

Meskipun kondisi di Everest ekstrem, beberapa organisme mampu bertahan hidup di sana. Peneliti mempelajari spesies ini untuk memahami bagaimana mereka beradaptasi dengan lingkungan yang keras.

Fisiologi Manusia

Mendaki ke ketinggian tinggi seperti Everest dapat memiliki efek dramatis pada tubuh manusia. Peneliti telah menggunakan Everest sebagai laboratorium alami untuk mempelajari hal-hal seperti hipoksia (kurangnya oksigen) dan penyakit ketinggian.

Sebagai contoh, pada tahun 2012, sebuah ekspedisi penelitian yang dikenal sebagai “Xtreme Everest” dilakukan di mana sekelompok dokter dan peneliti melakukan serangkaian eksperimen untuk mempelajari bagaimana tubuh manusia beradaptasi dengan ketinggian tinggi. Pengetahuan ini dapat membantu dalam pengobatan kondisi medis seperti penyakit jantung dan paru-paru.

Dengan demikian, penelitian ilmiah di Gunung Everest dapat memberikan wawasan penting ke dalam berbagai bidang, dari klimatologi hingga fisiologi manusia. Meskipun kondisi di Everest membuat penelitian menjadi tantangan, data yang dihasilkan sangat berharga dan dapat membantu kita memahami lebih baik dunia kita.

Tantangan Pendakian Gunung Everest

Mendaki Gunung Everest adalah salah satu tantangan fisik dan mental terbesar yang dapat dihadapi oleh manusia. Ada banyak tantangan yang harus diatasi para pendaki, baik yang berpengalaman maupun yang baru pertama kali mendaki:

Ketinggian dan Hipoksia: Ketinggian Everest, yang mencapai hampir 8.849 meter, berarti udara di puncaknya sangat tipis. Hal ini dapat menyebabkan kondisi yang dikenal sebagai hipoksia, di mana tubuh tidak mendapatkan cukup oksigen. Gejala hipoksia bisa berkisar dari pusing dan mual hingga kehilangan kesadaran dan kematian.

Cuaca Ekstrem: Cuaca di Everest bisa sangat ekstrem, dengan suhu turun hingga -40 derajat Celsius dan angin bisa mencapai kecepatan lebih dari 200 km/jam. Selain itu, cuaca dapat berubah dengan cepat, dengan badai salju yang bisa terjadi tanpa peringatan.

Bahaya Fisik: Everest juga penuh dengan bahaya fisik, seperti longsoran salju dan crevasse (retakan dalam gletser). Selain itu, bahaya seperti serangan salju (avalanche) atau jatuh dari ketinggian juga merupakan risiko nyata.

Aklimatisasi: Untuk bertahan di ketinggian ekstrem, pendaki harus melalui proses aklimatisasi yang bisa memakan waktu berminggu-minggu. Ini melibatkan pendakian ke ketinggian tertentu, kemudian turun kembali untuk memberi tubuh kesempatan beradaptasi.

Faktor Kesehatan dan Fisik: Pendakian  melelahkan dan kondisi ekstrem dapat mengakibatkan berbagai masalah kesehatan, termasuk edema pulmonar dan edema otak akut yang disebabkan oleh ketinggian, dehidrasi, hipotermia, dan luka bakar matahari.

Meski penuh tantangan, mendaki Everest tetap menjadi aspirasi bagi banyak pendaki gunung dari seluruh dunia. Namun, penting untuk mempersiapkan diri dengan baik dan menghargai gunung dan lingkungannya.